Aku dan Tempat Nafkahku (Part IV – Tamat)

Posted on 17 September 2008

20



Agak berat bagiku untuk meneruskan kisah suka dan dukaku dengan tempat nafkahku ini. Nyaris kuputuskan tak akan menyambung cerita ini lagi. Cukup pada part III saja berakhir. Namun nampaknya suasana hatiku tergerak untuk meneruskannya setelah dua hari kemarin seorang sahabat jauh-jauh datang dari rumahnya menggunakan sepeda motor menuju kontrakanku yang sederhana di sebelah selatan Jakarta ini. Untuk apa? Tak lain dan tak bukan untuk menumpah ruahkan seluruh uneg-uneg tentang diri dan pekerjaannya.

Duhai sahabat, ijinkan aku menjadikan dialog kita malam itu menjadi pelajaran bagi yang ingin menggali hikmah, menjadi penerang bagi yang berada dalam gelap gulita, memberi sekepal semangat bagi yang kehabisan bensin penggerak. Mudah-mudahan Allah ridha ya kawan!

* * *

Langit malam kala itu hitam bercampur biru tua. Dan makin indah karena beberapa bintang tersipu-sipu malu antara ingin menampakkan diri atau larut dalam kemegahan langit malam. Allah dan bintang-bintang itu menjadi saksi kehadiranmu di gubuk sederhanaku. Tanpa banyak basa-basi, kau duduk bersila di ruangan yang hanya ada engkau dan aku. Tak sempat tikar tergelar. Nampaknya ada urusan yang bagimu sangat penting.

“San.. aku sebenarnya cukup nyaman dengan tempat kerjaku sekarang. Tapi salarynya itu loh yang menurutku kurang sesuai dengan pekerjaanku”, keluhmu membuka percakapan. Manusiawi, tapi jujur…. saat itu aku tak punya kalimat untuk membesarkan hatimu. Aku hanya bisa menatap matamu dalam, dan memposisikan diri sebagai pendengar dan sahabat yang baik. Ingin ku sela dengan menyuguhkan segelas air putih sekedarnya. Sayang, saat itu air minum di kontrakan benar-benar habis. Maafkan tuan rumah yang tidak memuliakan tamu ini, kawan.

Kau pun lanjut bercerita tentang betapa hidup keluargamu yang masih serba kekurangan. Tak lupa kau pun menggambarkan betapa pahitnya pengalaman-pengalaman bekerjamu yang selama ini pernah kau alami. Dimarah-marah, dimaki, dimusuhi karena menolak berbohong, dan belasan keluhan lainnya. Keluhanmu itu akhirnya bermuara pada satu hal. Gaji yang tidak sesuai menurut hitung-hitunganmu. Aku terus memperhatikan tiap keluh lisanmu yang sambil memutar-mutar handphone canggihmu dengan kedua tangan diantara lipatan sila kakimu. Ku lirik handhoneku, dan coba membandingkan. Bah.. punyaku jadul banget ya kawan!

Lisanmu mulai kehabisan kata. Gurat beban diwajahmu mulai terurai. Itulah saatnya aku gantian bersuara, “Kalau boleh tahu. Memang berapa jumlah gaji yang kamu terima?” tanya ku polos. “Satu juta lima puluh ribu rupiah” jawabmu lirih sambil memain-mainkan, membolak-balikkan kunci motormu. Kapan aku memiliki kendaaran ya kawan? khayalku dalam benak.

Jumlah yang bagiku bukan jumlah uang yang kecil. Tapi mengapa matamu mulai membasah? Apakah jawaban itu seperih irisan cabe yang mengiritasi mata? Menyayat hatimu? Kau mungkin beranggapan, kaulah makhluk paling malang di ruangan itu. Bahkan mungkin di dunia ini.

“Kawan..!” panggilku lembut sambil mengharap kau menengadahkan pandangan, membalas tatapanku. Berhasil. Kau pun menoleh dan menatap lekat wajahku. Bibir kusimpulkan, memberimu sedikit senyum. Bukan senyum menertawakan kemalanganmu kawan, tapi senyum menebar ketegaran. Bukankah jika setiap masalah dihadapi dengan senyuman, maka akan terasa lebih mudah? Itulah yang ingin aku sampaikan dari senyumanku itu. Namun wajahmu nampaknya masih tak bergeming, muram.

“Menurutmu antara pekerjaanmu dan pekerjaanku mana yang bakal menuai gaji yang lebih besar!” tanyaku yang tentunya sudah tahu jawabannya. “Tentu pekerjaanmu, yang banyak menguras otak”. jawabmu sambil malu-malu.

“Coba tebak gaji yang aku dapatkan perbulan!” lanjutku

Kau pun geleng-geleng kepala. “Gak tahu…!”

“Tebak saja…! salah wajar..!”

Kemudian kau pun menyebutkan jumlah yang seyogyanya berkali-kali lipat dari yang aku dapatkan. Dengan senyum aku menjawab mantap, “Itu untuk ukuran perusahaan bonafite. Gajiku di perusahaan ini alhamdulillah satu koma dua”. Alhamdulillah, karena sekecil apapun rizqi (menurut kita), itulah yang diperuntukkan untuk kita, dan wajib kita syukuri.

Kau pun kaget bukan kepalang mendengar ucapanku itu. Tanganmu berhenti memainkan sesuatu. Handphone dan kunci motor kau geletakkan di lantai. Tatapanmu berubah menjadi tatapan penasaran. Tanganmu kau buat saling menggenggam. Badanmu condong ke depan. Bukan salah telingamu, tapi kau butuh kalimat penjelas tentunya.

Ya.. aku yang sudah tujuh tahun bekerja, baru tahun ini aku mendapatkan gaji satu juta dua ratus ribu. Sedangkan kau yang belum setahun ini sudah mendapatkan satu koma lima puluh ribu. Dengan pekerjaan yang teramat jauh berbeda untuk dibandingkan. Seperti yang bisa kau hitung kawan, aku memulai gajiku dari 600 ribu rupiah.

Jika kau pikir ingin membahagiakan orang tuamu. Ingin agar mereka mencicipi buah peras keringatmu. Begitu pula diriku. Tapi coba kau bayangkan bagaimana aku membuat orangtuaku bahagia dengan gajiku yang segitu?

Bila aku berpikir sama denganmu, membahagiakan orang tua hanya dengan harta. Maka tentulah Allah mengkhususkan bakti buat orang tua hanya untuk orang-orang kaya. Kawan.. bukan dengan harta kau membahagiakan keduanya. Melihat anaknya bahagia dan menjadi orang bermanfaat sudah membuat mereka bahagia bukan kepalang. Tahu kah kau betapa bahagianya ibu dan bapak ketika mengetahui anaknya yang semula dimusuhi preman dan pemabuk di lingkungannya, tiba-tiba menjadi anak yang mengajari ngaji dan shalat pemabuk itu? Cukuplah kebahagian mereka itu melihat anaknya shaleh bukan main. Melihatnya menjadi manusia rahmatan lil alamin.

Aku amat mengerti sekali perasaanmu kawan. Karena aku pernah mengalaminya sendiri. Kamu mungkin lebih beruntung dariku. Aku anak perantauan. Dengan uang yang aku dapat aku harus membagi-bagi untuk berbagai pos keperluan. Terlebih membayar kontrakan rumah yang bukan uang yang sedikit. apalagi ini Jakarta kawan. Kau mungkin belum bisa membayangkan karena belum mengalami. Aku terseok-seok hidup di Jakarta ini. Tapi aku tak ingin orang lain mengetahui dari muramnya wajahku. Senyumlah yang akan aku berikan pada dunia.

Untuk menutupi kekurangan hidupku, pernah aku berjualan burger. Kadang-kadang jualan buku. Namun aku tak melihat dan tak ingin menengok pintu keluar untuk lari dari pekerjaan yang mungkin menurutmu tak sepadan dengan tugasmu. Aku yakin Allah tidak salah menempatkan dan mempertemukan manusia dengan tempat nafkahnya. Yang harus manusia cari adalah hikmah. Karena dengan hikmah, kita memiliki tiket untuk menuju kepada keridha-an-Nya.

Tiga kawan seperjuanganku telah lebih dahulu mengundurkan diri. Eko Setyo Wibowo si manusia segala tahu mengundurkan diri dan kini menjadi seorang guru sekalian kuliah lagi. Livan Afriyanto si jenius ganteng pun mengundurkan diri, dan kini ia telah menyelesaikan kuliahnya dan bekerja di sebuah produsen susu, Radi Kurniadi si aburizal bakrie jr. mengundurkan diri, ia kini akhirnya menjadi teknisi di sebuah Bank swasta. Mungkin mereka berpikir sepertimu, jenuh dengan gaji yang biasa, capek dengan hidup yang serba tak memuaskan keinginan hati dan mata, ingin mencari kehidupan pekerjaan yang luar biasa tak terkira. Luar biasa bonafite, luar bisa gede gajinya, dan luar biasa enteng kerjanya. Manusiawi. Tak perlu kita mencari tahu mana yang benar antara sikap bertahan dengan menjadi pegawai kutu loncat. Sebab hidup itu adalah pilihan.

Namun satu hal yang aku ingat dan aku yakini,

“Keraslah terhadap diri sendiri, maka dunia akan lunak kepadamu. Sedangkan lunak terhadap diri sendiri, akan membuat dunia keras kepadamu”.

Aku menyadari, aku tidak boleh menyerah di tengah jalan. Tidak boleh menyerah karena keadaan. Padahal bisa saja aku menerima tawaran pekerjaan yang memberi gaji berlipat-lipat. Dalam dollar lagi. Tapi jika aku ambil kesempatan itu, aku takut tergolong menjadi manusia materialis. Memandang sesuatu hanya jika mempunyai manfaat untuk diri. Tidak.. sekali-kali aku tidak ingin menjadi manusia pamrih seperti itu. Bukankah akan lebih indah seperti kita melihat hubungan antara lebah dan sang bunga? Lebah dengan rendah hati tak pernah memantahkan ranting bunga yang dihinggapinya. Sang bunga pun dengan rela melepaskan putik sarinya. Menunggu ranumnya bebuahan. Sang lebah pun membalasnya dengan madu yang menambah hidup semakin berwarna. Itulah azzam-ku.

Kawan…! Jangan kau melihatku dari luar. Kau berkata, aku hebat karena bisa kuliah lagi. Kau berkata, aku hebat bisa membuat warnet. Kau berkata, aku hebat punya dua buah notebook dan satu PC. Kau pun melihat rak-rak bukuku penuh dan berkata, aku hebat bisa membeli buku-buku sebegitu banyaknya. Kawan.. itu adalah tampilan luar diriku. Kenapa kau tidak menyelami dalamnya. Pernahkah kau berpikir bagaimana dengan gaji anak perantauan yang rata-rata 800 ribu selama 7 tahun di kota metropolitan bisa memiliki beberapa nikmat tersebut? Padahal nyaris aku tidak memiliki tabungan. Pernahkah kau berpikir ke arah sana kawan?

Dari daftar tersebut mungkin ada yang perlu aku tambahkan, di saat tetanggaku mengeluhkan tentang bayaran SPP anaknya yang tertunggak, tak segan-segan aku uangkan kekayaanku yang segitu-gitunya. Di saat aku pulang, aku serahkan apa yang aku punya pada orang tuaku, walaupun mereka lebih sering menolaknya. Hitunglah berapa pula uang yang aku habiskan untuk percobaan-percobaanku, yang nyatanya banyak gagalnya. Cukuplah. Tak terlalu penting untuk disebutkan.

Kawan… hari ini ingin aku bisikkan kepadamu salah satu rahasia hidup ini. Catat baik-baik ini kawan. Simpan dalam memory yang mudah kau buka kembali. Bahwa rezeki itu sudah diatur. Dan bahwa hitungan rezeki itu bukanlah hitung-hitungan matematis. Jika kau hitung, satu hari mendapat seribu, maka sepuluh hari bisa mendapat sepuluh ribu. Maka kau salah. Rezeki tidak akan bertambah sekeras apapun kau mengejarnya, dan tidak akan berkurang semalas apapun kau menantinya. Karena Dia telah menentukan, dan karena kita hanya punya satu kewajian untuk berusaha menjemputnya.

Jika kau pintar, silahkan hitung seluruh biaya dan kekayaanku yang kau sebutkan tadi. Kemudian bandingkan dengan hitung-hitungan rezekiku yang menurutmu harus secara matematis itu. Kau kalah kawan. Hitung-hitungan Allah lebih berkuasa. Dan kau harus yakin kawan. Jika kita telah berusaha, maka Allah berjanji akan menolong hamba-hambanya, dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tak usah kau tertawakan mimpi tukang bakso untuk pergi menjalankan haji, karena Allah tak pernah ingkar janji.

Dari dulu aku berusaha mencari peluang agar bisa sekolah lagi. Akhirnya ketemulah dengan sebuah sekolah gratis. Walaupun aku harus pulang pergi cukup jauh setelah kerja seharian. Dari ujung ke ujung Jakarta. Capek. Namun dititik jenuh itulah, rasa iba atasan muncul dan memberikanku peluang untuk mengambil kuliah di salah satu universitas swasta dan membayar penuh seluruh biayanya.

Rezeki itu Allah yang mengaturnya kawan. Kita hanya berusaha menjemputnya bila ia tiba.

Rumah orang tuaku dekat dengan lapangan terbang. Sejak kecil aku selalu berkhayal ingin berada di dalam burung besi itu, sekaliiii saja. Namun apa yang Allah berikan? Bukan hanya sekali. Sampai tulisan ini dibuat, lebih dari 50 kali. Keliling Indonesia. Jika kau pikir aku harus mengumpulkan uang, maka berapa tahun aku bisa melakukannya. Mencicipi makanan berbagai daerah. Jalan-jalan ke tempat-tempat unik? Padahal jika kau pikir, tentulah posisi pekerjaanku tak memungkinkan untuk bisa keliling Indonesia. [sujud syukurku untuk-Mu ya Rabb]

Sekali lagi, hitungan Rezeki itu bukanlah hitung-hitungan matematis kawan. Tapi tentu kau harus berusaha untuk menjemputnya.

Kawan…! Jangan takut miskin, jika engkau memiliki Allah yang Maha Kaya. Jangan takut kebutuhanmu tak terpenuhi karena engkau memiliki Allah yang Maha Pemberi Rizki. Jangan takut terdzalimi, karena engkau memiliki Allah yang Maha Adil dan Maha Penolong. Kehilangan seperti apakah yang bakal engkau rasakan, bila engkau telah menemukan Allah [zat yang memiliki segalanya] di hatimu?

Kawan…..! Sahur sudah mengajarkan kepada kita tentang keberkahan. Makan banyak, maupun makan sedikit. Siangnya pasti lapar kembali. Sedikit maupun banyak, sama-sama cukup membuat perut menjadi lapar. Itulah yang dinamakan dengan keberkahan. Tak penting seberapa banyak yang kau hasilkan, yang lebih penting adalah seberapa berkah harta yang kau miliki tersebut. Bukankah dalam setiap doa, selalu kau panjatkan “… wabarakatan fi rizqi…” Kau meminta Rizki yang berkah, bukan rizki yang banyak.

Kau jangan terlalu memiliki dan dimiliki dunia. Telah banyak hartaku yang ditenggelamkan banjir. Apakah aku kemudian bersedih karena kehilangannya? Untuk apa? Toh semua itu tidak merasa aku miliki. Usahaku selama ini tak mampu untuk mendapatkannya. Allahlah yang memberikannya dan hanya Allahlah yang memilikinya. Wajar jika Ia ingin mengambilnya kapanpun dan dengan cara apapun yang Ia sukai.

Adapun pesan terakhirku mengenai pekerjaanmu. Ingatlah akan rosulmu. Pernahkah beliau berlaku layaknya penguasa? Tidur dikasur empuk, makan makanan lezat bertelekan emas, mau apa-apa tinggal perintah pelayan. Jangankan bersikap seperti penguasa, merasa diri sebagai orang penting saja, bukan tabiat beliau. Justru beliau berbeda 180 derajat. Beliau mengganggap dirinya sebagai pelayan. Ya.. pelayan ummat. Stewardship. Pelayanan yang sungguh-sungguh.

Tidakkah kau merasa terhormat dengan mencontoh teladan, nabimu? Tidakkah kau merasa bangga melakukan apa yang ia lakukan? Dimanakah jiwamu itu? Dimanakah jiwa yang bangga karena telah memberikan pelayanan? Dimanakah jiwa yang bahagia telah memberikan pelayanan? Dimanakah jiwa itu kawan? Sudah hilangkah kebanggaanmu terhadap manusia terbaik pilihan Allah? Lalu mengapa kamu menolak memberikan pelayanan yang terbaik disaat jasadnya ditakdirkan hadiri disana? Mengapa kamu merasa jijik dengan kata-kata “pelayan” dan “melayani”? Siapakah yang terbaik antara dirimu dengan Rosulullah?

Kawan…! Berikanlah pelayanan yang terbaik sekalipun engkau adalah sesosok tukang sampah. Berikanlah pelayanan terbaik layaknya engkau adalah seorang pemimpin negara melayani rakyatnya. Jangan pernah ragu dengan pertolongan Allah. Dia akan menjadikan sesuatu itu indah, jika saatnya tiba. Berhentilah mengeluh. Allah tidak pernah salah menempatkan hamba-Nya. Dia menghadirkanmu di tempat kerjamu saat ini bukan tanpa alasan. Berikanlah yang terbaik, dan biarlah Allah yang mengatur rezekimu. Berikanlah yang terbaik, dan biar dunia menyaksikan perbuatanmu wahai khairu ummah, umat terbaik.

Deras. Air matamu sudah tak bisa kau bendung. Bibirmu kelu. Kau rangkul diriku. Ah.. kau basahi juga kelopak mataku, disaat aku ingin berusaha memasukkan lagi air mataku yang setetes lagi ingin keluar. Panas sekali rasanya pelupuk mata ini. Dekapan itu mulai mengencang. Dan kau pun mulai segukan.

“Keraslah terhadap diri sendiri, maka dunia akan lunak kepadamu. Sedangkan lunak terhadap diri sendiri, akan membuat dunia keras kepadamu”.

Kawan…! hapuslah air matamu. Perjuangan kita masih panjang. Jalan dakwah ini masih terbentang di depan. Jangan kau gandrung dengan dunia. Berbahagialah. Dan bersyukurlah untuk rezeki yang Allah cukupkan untukmu. Seandainya pun Allah mentakdirkanmu dalam keadaan miskin, maka berbahagialah, karena Rosul pernah berdoa, “Ya Allah, semoga hidupku dan matiku dalam keadaan miskin. Semoga aku nanti dikumpulkan bersama orang-orang yang miskin, bukan bersama orang-orang yang kaya” (shahih, HR. At-Tirmidzi). Tidakkah engkau rindu dikumpulkan bersama Rosulullah di tendanya?

Jika kau bertanya, apakah aku akan selamanya di tempat nafkahku saat ini? Jawabannya tentu tidak. Ini adalah terminal pembelajaranku. Belajar menggali ilmu, belajar menuai hikmah, belajar mengumpulkan mozaik-mozaik pengalaman hidup. Cita-citaku masih menggantung tinggi di sana. Perjalananku masih panjang. Aku tidak akan mengundurkan diri sebagaimana orang-orang mengundurkan diri untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tapi aku akan mengundurkan diri dengan bangga jika aku sudah memberikan sumbangsih agar perusahaan ini lebih baik.

Tujuh tahun sudah aku rasakan pasang surut perusahaan ini. Aku cukup bangga menemaninya. Dari mulai sebuah perusahaan kampungan menjadi perusahaan modern yang memiliki standar kosmetik international. Dari mulai pintu reyot sampai pintu otomatis dengan finger print. Dari mulai komputer hanya dua ‘ekor’, hingga ratusan. Dari cabang yang asalnya hanya satu, sekarang sudah tersebar di mana-mana (hampir seluruh Indonesia) bahkan Malayasia dan Qatar. Dari mulai komputer dummy hingga dipoles jadi komputer canggih. Dari mulai banyak dikerjakan dengan tangan, hingga otomatisasi dan komputerisasi. Pengalaman yang benar-benar bisa meneteskan air mata karena haru. Mengingat perjuangan yang ditempuh tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Aku ingin keluar saat perusahaan ada di puncaknya. Cukup bagiku kesenangan bisa ikut mengantarkan sampai puncak. Tanpa mau ikut bergembira dengan kesenangan merayakan keberhasilan telah berada di puncak. Bagiku pelayananku berakhir ketika kejayaan sudah ada ditangan. Dan seorang pelayan tak layak untuk bersenang-senang di rumah tuannya. Cukup kesenangannya di rumah sebenarnya, kampung akhirat.

* * *

[Ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk bapak Subakat yang dengan sabar dan rendah hati membimbing insan dari nol hingga bisa seperti sekarang ini].

Ya Rabb, terimalah amal-amalanku selama berada di perusahaan ini.
Ya Rabb.. cukupkah amalku ini sebagai ongkos untuk bertemu Engkau di surga kelak?

Jiwaku kembali akan melanjutkan perjalanan, mengarungi samudera kehidupan. Mengikuti panggilan pulang dari sang pemilik kehidupan. Di ujung sanalah pemberhentianku. Menuju kemuliaan hidup atau karam sebagai syahid yang dirindu. Wahai ombak, tunggulah aku akan melewatimu. Wahai badai, tunggulah aku akan bertahan dari terpaanmu. Adakah yang mau menemani perjalanan panjangku? [Pertanyaan mengerikan yang mudah-mudahan tidak ada yang menjawab]

-The End-

Ditandai: , , ,
Posted in: Cerpen